Guratan Tinta Elektronik Seorang Pemuda

Seorang pemuda yang setiap pagi selalu memulai rutinitasnya dengan membakar sepuntung rokok yang di sisakannya sebelum tidur, ditemani kopi dingin yang belum habis ditenggaknya tadi malam. Setiap harinya pemuda ini memulai harinya dengan pikiran pesimisnya sebelum memulai aktivitasnya di pagi itu. Pertanyaan akan keberadaan dirinya (eksistensialisme), siapakah diri nya dan untuk apa dirinya ada, merupakan pertanyaan yang selalu di tanyakannya kepada dirinya seketika ia bangun. Tak memikirkan akan apa yang akan dia lakukan pada hari itu. dan orang-orang pun pastinya mencap dirinya sebagai pemuda dengan masa depan yang suram, tak memiliki masa depan dengan agenda pastinya.

Pemuda itu berjalan menuju surau untuk melaksanakan ibadahnya. dan menunggu pagi untuk berangkat ke kampusnya demi menimba ilmu. Menapaki jalan setapak yang membelah persawahan dan sungai menuju tempat yang ia hendak tuju. menatap tingginya gunung dan birunya langit sembari bertanya: “kelak aku jadi apa????”. lantas dengan wajah murung ia menundukkan kembali wajahnya menatap tanah yang akan ia injak. Merasa dirinya seperti tanah tersebut, , merasakan dirinya yang selalu terinjak-injak oleh takdir yang ia sendiri tidak mengerti apa itu takdir. Walau nyatanya ia rajin ke surau dan mengikuti pengajian untuk menerima doktrin2 sistematis itu, yang tak mampu menjawab segala pertanyaan-pertanyaan kafir itu. Sehingga diam adalah salah satu cara agar tidak terdepak dari lingkungan agamisnya.

Hari berganti hari pertanyaan yang membebaninya semakin banyak. mulai dari keberadaan dirinya, mengenai  Tuhan, mengenai alam, mengenai kebenaran yang sebenarnya, mengenai sejati dirinya, mengenai segala macam asal muasal dan mengenai kesendiriannya. Pertanyaan-pertanyaan yang enggan ia ajukan ke sembarang orang, ia tak mudah percaya dengan orang-orang di sekitarnya. Dunia telah membuat pemuda ini selalu berfikir pesimis. Tak ada yang pasti, dalam benaknya “Hanya ada kesendirian yang abadi”. Kita yang terlahir sendiri, memberi makan untuk diri kita sendiri, mati sendiri dan dikubur sendiri, dan jika hari akhir itu benar adanya, maka kita berhadapan dengan malaikat, sendiri.

Bait demi bait syair kepedihan di goreskan dalam hatinya yang yang tak bertepi di tengah keterbatasannya.  Kata demi kata yang ia tahan berubah menjadi Luka yang dalam. Tak lagi ia pedulikan norma-norma yang simpang siur di hadapannya. Wanita dan Pria tak lagi berbeda. Berubah seketika menjadi sama saja. Baik dan buruk sama saja, tak ada artinya. membuatnya percaya bahwa oposisi biner adalah buatan untuk mengendalikan masyarakat yang pastinya adalah liar seperti binatang. menatap tumbuhan, hewan dan manusia sama adanya, atas dasar mereka hidup, dan akan melakukan apa saja untuk hidup.

Tabir gundah gulana ia jawab sendiri sesuka hatinya. tak lagi ada tanya ketika ia menjawab sendiri bahwa semua itu sama saja.

Namun telah disadarinya bahwa jika semua ini sama saja, lantas untuk apa hidup. bermula dari pemikirannya akan takdir, ia menerima bahwa segala sesuatu yang dilakukannya adalah atas kehendak Tuhan melalui garis takdir yang telah ditentukannya. Namun apa istimewanya manusia jika takdir itu membelenggunya. Dan tiap nafas pemuda ini telah menjawab kebenaran bahwa takdir itu adalah kita sendiri yang menentukan. dan Tuhan lah yang kemudian memutuskan. orang miskin akan tetap miskin jika menyerahkan diri sepenuhnya pada takdir dan tidak berusaha. orang akan mati jika menanti takdir memberinya makan sehari-hari dengan harapan rejeki menghampirinya tanpa mencari. dan ini semua pikiran bodoh ini benar-benar salah adanya.

“jika kita ingin berubah, maka kita harus memulainya dari diri kita sendiri”

Kemudian pemuda ini menjawab kegundahan hatinya mengenai keberadaan dirinya di alam ini dengan beribu badai pengalaman yang menerpanya. Bahwa darah dan dagingnya ini diciptakan bukanlah untuk dirinya sendiri. Tapi darag dan dagingnya seharusnya ia abdikan untuk melayani orang lain. atas dasar kesedihan dirinya menyaksikan ketidak adilan yang ada pada orang-orang yang lemah yang secara tak sadar mereka telah di tindas habis-habisan. Maka pemuda ini lebih menghargai hidupnya jika ia mampu berguna bagi orang lain. Dan ia berusaha menjadi manusia yang lebih baik dari manusia-manusia lainnya agar kelak mampu mengayomi alam beserta isinya dengan mengabdikan dirinya menjadi pelayan.

Kesendiriannya ingin ia abdikan kepada alam, dengan harapan kepedihan kesendirian tersebut akan sirna. namun tak disangka datanglah pasangan hidupnya. Disanalah ia benar-benar belajar mengenai apa itu cinta. yang kemudian berubah menjadi asmara. Timbul kegelisahannya bahwa segala kata cintanya terhadap sesama tidak sebesar cintanya kepada wanita tersebut. karena terlalu luar biasa adanya. maka ia pertanyakan kembali cintanya kepada alam beserta isinya, yang ternyata tidak seluar biasa yang ia rasakan pada wanita yang mencintainya. Dan ternyata memang itulah ia sadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang kelak menjadi luar biasa dengan sentuhan cinta.

Pemuda ini melepas batas-batas pikirannya dan hatinya, membuka jendela-jendela yang selama ini menggelapkannya, menatap arah dunia yang lebih cerah, yang kemudian terlihatnya adil di tengah ketidakadilannya, terlihatnya kebenaran yang sebenarnya di tengah kedustaan massal. Dan ia berlutut sembari berdoa dan berterimakasih, Karena perjalanan hidupnya tak akan ia mengerti jika tak pernah bersentuhan dengan “Cinta”. Dan kini ia telah memiliki cita-cita untuk ia tuju berkat sentuhan mistis dari “cinta”. dan luka-luka di hatinya sembuh seketika berkat sentuhan Cinta.

Cinta adalah sesuatu yang bias, tak terdefinisikan, dan tak ada batasnya. yang terkadang membuat kita buta di satu sisi, namun jika berhasil menyadarinya maka akan membuat kita menatap dunia lebih indah atas apa-adanya.

Leave a comment